Selesai salat Id, si kabayan tidak langsung pulang. Ia menabuh beduk dulu dengan teman-temannya. Setelah tangannya capek, ia
baru pulang.
Sampai
di rumah ia langsung menuju meja makan. ”Hai, belum cuci tangan, belum lepas
peci, sudah melahap ketupat dan opor ayam!” seru ibunya.
”Aduh,
Mak, selera saya sedang bangkit. Kalau tidak segera dituruti, nanati seleranya
hilang!” jawab si Kabayan.
”Kamu
memang pandai beralasan! Tadi si Ujang pesan, kamu ditunggu di pos kamling,”
kata ibunya.
Setelah
menghabiskan dua ketupat dan tiga potong ayam, si Kabayan langsung pergi. Ia
menemui teman-temannya di pos kamling. Bersama mereka, ia berkunjung ke
rumah-rumah tetangga. Setiap masuk ke satu rumah, ia makan makanan di sana
sepuasnya. Ia juga tidak lupa mengisi sakunya dengan makanan yang disuguhkan
itu.
Ketika
hari menjelang sore, si kabayan teringan kerbaunya. ”Wah, kerbauku bisa pergi
ke mana-mana! Kalau sampai masuk ke kebun si Belanda keparat itu, bisa gawat!”
kata si Kabayan dalam hati.
Si
Kabayan segera pulang. Sampai di rumah, sarung dan pecinya langsung ia lempar
ke dipan. Si Kabayan keluar lagi dan berlari mencari kerbaunya. Ia hanya
bercelana pendek dan memakai caping.
Dugaannya
tepat. Kerbaunya ada di kebun karet milik Tuan Hendrik. Si Kabayan bertambah takut
karena kerbaunya telah mengotori jalan masuk kebun karet itu.
Ia
segera menghardik kerbaunya agar segera keluar dari sana. Ketika ia akan
membuang kotoran kerbaunya, tiba-tiba terdengar suara hentakan kaki kuda di
dekatnya.
”Ah,
ini pasti kuda Tuan Hendrik! Kalau sampai ia tahu jalanannya banyak kotoran
kerbau saya pasti kena cambuk,” kata si Kabayan dalam ahti.
Karena
takut, si Kabayan langsung menutupi kotoran kerbau dengan capingnya. Ia jongkok
menghadapi caping itu.
”Hai,
kamu sedang apa? Namamu siapa? Mengapa kamu keluyuran ke sini?” bentak Tuan
Hendrik dari atas kudanya.
”Saya
Otang, Tuan. Maaf Tuan, saya mengejar burung saya yang lepas. Ini Tuan, sudah
saya tangkap kembali,” jawab si Kabayan berbohong.
”Jadi,
di balik caping itu ada burung? Burung apa?” tanya Tuan Hendrik.
”Burung
perkutut,” jawab si Kabayan sekenanya,
”Ah,
itu burung kesukaan saya! Bagaimana kalau saya beli
saja?” kata Tuan Hendrik sambil turun dari kudanya.
”Boleh,
Tuan. Tapi Tuan harus mengambil sendiri! Kalau say yang mengambil, saya
khawatir ia lepas lagi,” sahut si Kabayan.
”Boleh!
Saya akan menangkapnya sendiri. Ini uangnya,” kata Tuan Hendrik.
Setelah
menerima uang, si Kabayan segera meninggalkan tempat itu. Kemudian Tuan Hendrik
mendekati caping si Kabayan. Tangan kirinya memegang ujung atas caping.
Pelan-pelan caping dimiringkannya. Ia lalu memasukkan tangan kanannya dengan
hati-hati. Terasa ada benda tersentuh. Hap! Tangannya menangpak benda tersebut.
Caping diangkatnya.
”kurang
ajar! Anak dekil menipuku!” sungut Tuan Hendrik setelah mengetahui benda yang
digemgamnya itubukanlah burung perkutut melainkan kotoran kerbau.
Di sebuah desa ada seorang ibu yang sedang hamil. Ia minta kepada suaminya untuk mengambilkan telur burung
tekukur. Kebetulan di depan rumahnya ada pohon besar tempat bersarang burung
tekukur. Suaminya lalu mengambilkannya.
Burung tekukur yang kehilangan telurnya lalu mengadu
kepada Raja Bijaksana.
”Wahai Paduka Raja, seorang manusia telah mencuri telurku. Mohon Paduka melindungiku
agar mereka tidak mencuri lagi,” kata burung tekukur.
”baik, aku akan menyuruh jin menjaga sarangmu,” jawab
Raja Bijaksana.
Raja Bijaksana kemudian memberi tugas kepada jin.
”Hai, Jin! Nanti kalau ada manusia akan mengambil telur
tekukur, lemparkan kembali ke bumi,” perintah Raja Bijaksana.
”Siap, Paduka!Kata jin”
Suatu hari, ibu hamil tersebut minta telur tekukur lagi.
Sang suami pun bersedia mengambilkannya lagi. Pada saat sang suami ke luar
rumah, ada seorang peminta-minta berdiri di depan pintu. Ia pun masuk kembali dan
mengambil beras setengah liter. Ia kemudian memberikan beras itu kepada
peminta-minta. Setelah itu baru memanjat pohon.
Melihat ada orang memanjat, jin bersiap-siap. Akan
tetapi, ketika ia hendak melemparkan laki-laki itu, tiba-tiba ia sendiri yang
terlempar ke laut. Laki-laki tersebut pun akhirnya dapat mengambil telur
tekukur dengan selamat.
Burung tekukur lalu protes kepada Raja Bijaksana. Ia
menuduh Raja Bijaksana tidak menepati janji. Raja bijaksana kemudian memanggil
jin.”Mengapa kamu melalaika
n tugasmu?” hardik Raja Bijaksana.
”Dewa Penolong melempar saya . Tuan.”
Raja Bijaksana bertanya kepada dewa, mengapa ia melempar
jin ke laut.
”Oh, begini Raja Bijaksana. Orang itu sering bersedekah.
Ketika ia akan memanjat pohon, ia telah memberi sedekah kepada seorang
peminta-minta. Dengan berbuat baik seperti itu saya berkewajiban untuk
menyelamatkannya,” kata Dewa Penolong kepada Raja Bijaksana.”
Paman
Jala seorang nelayan. Pagi-pagi ia sudah pergi menjala ikan. Petang hari ia
baru pulang sambil membawa hasil tangkapannya.
Pagi
itu Paman Jala benar-benar sial. Ia tidak memperoleh ikan
seekor pun setiap kali menebar jala.
Paman
Jala tidak putus asa. Ia tetap menebarkan jalanya berkali-kali. Kali ini ia
merasakan ada sesuatu yang tersangkut pada jalanya. Ternyata yang tersangkut
adalah sebuah kendi.
Paman
Jala berniat membuang kendi itu ke sungai. Kan tetapi, ia tertarik melihat
tutup kendi yang berwarna kekuning-kuningan seperti emas.
”Saya
dapat rezeki besar!” kata Paman Jala sambil tertawa-tawa.
Paman
Jala segera melepas cincin pengait pada tutup kendi itu. Setelah cincin pengait
terlepas, tutup pun terbuka. Dari dalam kendi itu keluar asap tebal diiringi
suara desis yang sangat keras. Asap tebal itu kemudian menggumpal dan berubah
menjadi raksasa dengan wajah mengerikan. Paman Jala mengigil ketakutan.
”Hah,
siapa kamu?” tanya Paman Jala penuh ketakutan.
”Ha...Ha...Ha...!
Saya adalah Jin Jahat yang terkena
hukuman dari Nabi Sulaiman. Selama seribu atahun saya telah dibenamkan di dasar
sungai oleh Nabi Sulaiman. Semarang saya bebas dan harus membunuhmu.
Ha...Ha...Ha...!” kata Jin.
“Lo,
mengana kamu akan membunuh saya? Apa salah saya? Bukankah
saya membantu membebaskanmu?” Kata Paman Jala.
”Saya
telah bersumpah, siapa yang membebaskan saya akan saya bunuh, ”sahut Jin.
”itu
sumpah yang bodoh! Mohon jangan kamu lakukan!Jangan bunuh saya ! Saya ini hanya seorang nelayan.
Kebetulan jala saya menangkap kendi penjaramu itu. Jadi sebetulnya saya tidak
sengaja membebaskanmu. Sekali lagi saya mohon, jangan bunuh saya!” pinta Paman
Jala.
”Tidak!
Saya harus melaksanakan sumpah!” bentak Jin.
Paman
Jala semakin takut mendengar niat Jin yang hendak membunuhnya. Paman Jala
lantas berpikir dan akhirnya mendapat akal.
”
Hai, Jin, sebelum engkau membunuh, saya ingin bertanya dulu. Kamu mengatakan
bahwa Nabi Sulaiman telah memasukkanmu ke dalam kendi ini. Saya pikir kamu
hanyalah pembohong besar. Bagaimana mungkin dengan tubuh sebesar kapal dan
tinggi melebihi pohon kelapa dapat masuk kendi yang kecil ini?” tanya Paman
Jala.
”Saya
bukan pembohonh besar. Apa yang saya katakan adalah benar. Kalau kamu tidak
percaya saya akan membuktikannya,” kata Jin.
”Coba
kamu buktikan!” kata Paman Jala.
Jin
pun masuk kembali ke dalam kendi itu. Begitu masuk, Paman Jala langsung menutup
kendi dan menguncinya dengan cincin pengait dari emas itu.
Sekarang
Jin kembali terkurung dalam kendi. Ia meronta-ronta dan
berteriak-teriak. Ia memohon agar Paman Jala membebaskannya. Ia pun berjanji
tidak akan membunuh Paman Jala. Akan tetapi, Paman Jala tidak mempercayai
perkataan Jin. Paman Jala pun membuang kembali kendi itu ke sungai.
Dikutip
dari Kisah Seribu Satu Malam. Mizan:Bandung,1993,dengan pengubahan
0 komentar:
Post a Comment