3.09.2013

DONGENG



Selesai salat Id, si kabayan tidak langsung pulang. Ia menabuh beduk dulu dengan teman-temannya. Setelah tangannya capek, ia baru pulang.
Sampai di rumah ia langsung menuju meja makan. ”Hai, belum cuci tangan, belum lepas peci, sudah melahap ketupat dan opor ayam!” seru ibunya.
”Aduh, Mak, selera saya sedang bangkit. Kalau tidak segera dituruti, nanati seleranya hilang!” jawab si Kabayan.
”Kamu memang pandai beralasan! Tadi si Ujang pesan, kamu ditunggu di pos kamling,” kata ibunya.
Setelah menghabiskan dua ketupat dan tiga potong ayam, si Kabayan langsung pergi. Ia menemui teman-temannya di pos kamling. Bersama mereka, ia berkunjung ke rumah-rumah tetangga. Setiap masuk ke satu rumah, ia makan makanan di sana sepuasnya. Ia juga tidak lupa mengisi sakunya dengan makanan yang disuguhkan itu.
Ketika hari menjelang sore, si kabayan teringan kerbaunya. ”Wah, kerbauku bisa pergi ke mana-mana! Kalau sampai masuk ke kebun si Belanda keparat itu, bisa gawat!” kata si Kabayan dalam hati.
Si Kabayan segera pulang. Sampai di rumah, sarung dan pecinya langsung ia lempar ke dipan. Si Kabayan keluar lagi dan berlari mencari kerbaunya. Ia hanya bercelana pendek dan memakai caping.
Dugaannya tepat. Kerbaunya ada di kebun karet milik Tuan Hendrik. Si Kabayan bertambah takut karena kerbaunya telah mengotori jalan masuk kebun karet itu.
Ia segera menghardik kerbaunya agar segera keluar dari sana. Ketika ia akan membuang kotoran kerbaunya, tiba-tiba terdengar suara hentakan kaki kuda di dekatnya.
”Ah, ini pasti kuda Tuan Hendrik! Kalau sampai ia tahu jalanannya banyak kotoran kerbau saya pasti kena cambuk,” kata si Kabayan dalam ahti.
Karena takut, si Kabayan langsung menutupi kotoran kerbau dengan capingnya. Ia jongkok menghadapi caping itu.
”Hai, kamu sedang apa? Namamu siapa? Mengapa kamu keluyuran ke sini?” bentak Tuan Hendrik dari atas kudanya.
”Saya Otang, Tuan. Maaf Tuan, saya mengejar burung saya yang lepas. Ini Tuan, sudah saya tangkap kembali,” jawab si Kabayan berbohong.
”Jadi, di balik caping itu ada burung? Burung apa?” tanya Tuan Hendrik.
”Burung perkutut,” jawab si Kabayan sekenanya,
”Ah, itu burung kesukaan saya! Bagaimana kalau saya beli saja?” kata Tuan Hendrik sambil turun dari kudanya.
”Boleh, Tuan. Tapi Tuan harus mengambil sendiri! Kalau say yang mengambil, saya khawatir ia lepas lagi,” sahut si Kabayan.
”Boleh! Saya akan menangkapnya sendiri. Ini uangnya,” kata Tuan Hendrik.
Setelah menerima uang, si Kabayan segera meninggalkan tempat itu. Kemudian Tuan Hendrik mendekati caping si Kabayan. Tangan kirinya memegang ujung atas caping. Pelan-pelan caping dimiringkannya. Ia lalu memasukkan tangan kanannya dengan hati-hati. Terasa ada benda tersentuh. Hap! Tangannya menangpak benda tersebut. Caping diangkatnya.
”kurang ajar! Anak dekil menipuku!” sungut Tuan Hendrik setelah mengetahui benda yang digemgamnya itubukanlah burung perkutut melainkan kotoran kerbau.

Di sebuah desa ada seorang ibu yang sedang hamil. Ia minta kepada suaminya untuk mengambilkan telur burung tekukur. Kebetulan di depan rumahnya ada pohon besar tempat bersarang burung tekukur. Suaminya lalu mengambilkannya.
Burung tekukur yang kehilangan telurnya lalu mengadu kepada Raja Bijaksana.
”Wahai Paduka Raja, seorang manusia telah  mencuri telurku. Mohon Paduka melindungiku agar mereka tidak mencuri lagi,” kata burung tekukur.
”baik, aku akan menyuruh jin menjaga sarangmu,” jawab Raja Bijaksana.
Raja Bijaksana kemudian memberi tugas kepada jin.
”Hai, Jin! Nanti kalau ada manusia akan mengambil telur tekukur, lemparkan kembali ke bumi,” perintah Raja Bijaksana.
”Siap, Paduka!Kata jin”
Suatu hari, ibu hamil tersebut minta telur tekukur lagi. Sang suami pun bersedia mengambilkannya lagi. Pada saat sang suami ke luar rumah, ada seorang peminta-minta berdiri di depan pintu. Ia pun masuk kembali dan mengambil beras setengah liter. Ia kemudian memberikan beras itu kepada peminta-minta. Setelah itu baru memanjat pohon.
Melihat ada orang memanjat, jin bersiap-siap. Akan tetapi, ketika ia hendak melemparkan laki-laki itu, tiba-tiba ia sendiri yang terlempar ke laut. Laki-laki tersebut pun akhirnya dapat mengambil telur tekukur dengan selamat.
Burung tekukur lalu protes kepada Raja Bijaksana. Ia menuduh Raja Bijaksana tidak menepati janji. Raja bijaksana kemudian memanggil jin.”Mengapa kamu melalaika
n tugasmu?” hardik Raja Bijaksana.
”Dewa Penolong melempar saya . Tuan.”
Raja Bijaksana bertanya kepada dewa, mengapa ia melempar jin ke laut.
”Oh, begini Raja Bijaksana. Orang itu sering bersedekah. Ketika ia akan memanjat pohon, ia telah memberi sedekah kepada seorang peminta-minta. Dengan berbuat baik seperti itu saya berkewajiban untuk menyelamatkannya,” kata Dewa Penolong kepada Raja Bijaksana.”
Paman Jala seorang nelayan. Pagi-pagi ia sudah pergi menjala ikan. Petang hari ia baru pulang sambil membawa hasil tangkapannya.
Pagi itu Paman Jala benar-benar sial. Ia tidak memperoleh ikan seekor pun setiap kali menebar jala.
Paman Jala tidak putus asa. Ia tetap menebarkan jalanya berkali-kali. Kali ini ia merasakan ada sesuatu yang tersangkut pada jalanya. Ternyata yang tersangkut adalah sebuah kendi.
Paman Jala berniat membuang kendi itu ke sungai. Kan tetapi, ia tertarik melihat tutup kendi yang berwarna kekuning-kuningan seperti emas.
”Saya dapat rezeki besar!” kata Paman Jala sambil tertawa-tawa.
Paman Jala segera melepas cincin pengait pada tutup kendi itu. Setelah cincin pengait terlepas, tutup pun terbuka. Dari dalam kendi itu keluar asap tebal diiringi suara desis yang sangat keras. Asap tebal itu kemudian menggumpal dan berubah menjadi raksasa dengan wajah mengerikan. Paman Jala mengigil ketakutan.
”Hah, siapa kamu?” tanya Paman Jala penuh ketakutan.
”Ha...Ha...Ha...! Saya adalah Jin  Jahat yang terkena hukuman dari Nabi Sulaiman. Selama seribu atahun saya telah dibenamkan di dasar sungai oleh Nabi Sulaiman. Semarang saya bebas dan harus membunuhmu. Ha...Ha...Ha...!” kata Jin.
“Lo, mengana kamu akan membunuh saya? Apa salah saya? Bukankah saya membantu membebaskanmu?” Kata Paman Jala.
”Saya telah bersumpah, siapa yang membebaskan saya akan saya bunuh, ”sahut Jin.
”itu sumpah yang bodoh! Mohon jangan kamu lakukan!Jangan  bunuh saya ! Saya ini hanya seorang nelayan. Kebetulan jala saya menangkap kendi penjaramu itu. Jadi sebetulnya saya tidak sengaja membebaskanmu. Sekali lagi saya mohon, jangan bunuh saya!” pinta Paman Jala.
”Tidak! Saya harus melaksanakan sumpah!” bentak Jin.
Paman Jala semakin takut mendengar niat Jin yang hendak membunuhnya. Paman Jala lantas berpikir dan akhirnya mendapat akal.
” Hai, Jin, sebelum engkau membunuh, saya ingin bertanya dulu. Kamu mengatakan bahwa Nabi Sulaiman telah memasukkanmu ke dalam kendi ini. Saya pikir kamu hanyalah pembohong besar. Bagaimana mungkin dengan tubuh sebesar kapal dan tinggi melebihi pohon kelapa dapat masuk kendi yang kecil ini?” tanya Paman Jala.
”Saya bukan pembohonh besar. Apa yang saya katakan adalah benar. Kalau kamu tidak percaya saya akan membuktikannya,” kata Jin.
”Coba kamu buktikan!” kata Paman Jala.
Jin pun masuk kembali ke dalam kendi itu. Begitu masuk, Paman Jala langsung menutup kendi dan menguncinya dengan cincin pengait dari emas itu.
Sekarang Jin kembali terkurung dalam kendi. Ia meronta-ronta dan berteriak-teriak. Ia memohon agar Paman Jala membebaskannya. Ia pun berjanji tidak akan membunuh Paman Jala. Akan tetapi, Paman Jala tidak mempercayai perkataan Jin. Paman Jala pun membuang kembali kendi itu ke sungai.

Dikutip dari Kisah Seribu Satu Malam. Mizan:Bandung,1993,dengan pengubahan

0 komentar:

Post a Comment